Pernah nggak sih kamu ngebayangin kerja cuma beberapa jam sehari, tapi tetap digaji layak dan hidup nyaman? Kedengarannya kayak mimpi, ya? Tapi faktanya, di beberapa negara, hal ini benar-benar terjadi. Di tahun 2025, ada sejumlah negara yang tercatat punya jam kerja terpendek di dunia, tapi tetap produktif dan sejahtera. Menarik banget buat dibahas, kan?
Fenomena ini bikin banyak orang penasaran: gimana bisa kerja lebih sedikit tapi tetap efisien? Apakah karena teknologinya, budaya kerjanya, atau sistem sosialnya? Negara-negara ini justru jadi bukti bahwa kerja keras nggak harus selalu identik dengan kerja lama. Malah, dengan waktu kerja yang lebih singkat, kualitas hidup masyarakatnya cenderung lebih baik.
Di tengah dunia yang makin sibuk dan burnout di mana-mana, pendeknya jam kerja ini jadi sorotan. Banyak negara mulai mempertimbangkan sistem kerja yang lebih manusiawi dan fleksibel. Tujuannya bukan cuma buat meningkatkan keseimbangan hidup, tapi juga buat mendorong produktivitas yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dan uniknya, tren ini makin meluas di tahun 2025.
Nah, di artikel ini kita bakal bahas negara-negara dengan jam kerja terpendek di dunia tahun 2025, lengkap dengan alasan di balik kebijakan mereka, dampaknya ke masyarakat, dan kenapa sistem ini bisa jadi inspirasi untuk masa depan dunia kerja. Yuk, cari tahu siapa tahu kamu jadi pengen pindah kerja ke sana!
Negara dengan Jam Kerja Terpendek di Dunia 2025: Model Keseimbangan Hidup dan Produktivitas
Pada tahun 2025, sejumlah negara di dunia menunjukkan bahwa produktivitas tinggi tidak selalu sebanding dengan jam kerja panjang. Beberapa di antaranya bahkan berhasil mencapai kesejahteraan sosial, efisiensi kerja, dan kebahagiaan warganya meskipun hanya menetapkan jam kerja mingguan yang jauh lebih pendek dari rata-rata global. Berdasarkan data dari Autonomy Institute dan riset lanjutan selama beberapa tahun terakhir, sembilan negara tercatat memiliki jam kerja terpendek di dunia, menjadi model inspiratif dalam mengelola dunia kerja masa kini.
Yaman tercatat sebagai negara dengan jam kerja mingguan terpendek di dunia, yakni hanya 25,9 jam. Fenomena ini dipengaruhi oleh karakteristik perekonomian negara yang lebih banyak bertumpu pada sektor informal dan pertanian keluarga. Walaupun dalam kondisi sosial dan politik yang menantang, banyak warga Yaman yang masih mengutamakan kebersamaan komunitas dan ritme kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan harian, tanpa tekanan sistem kerja korporat yang ketat.
Belanda menyusul di posisi kedua dengan rata-rata jam kerja 26,8 jam per minggu. Negara ini sejak lama dikenal sebagai pelopor kerja fleksibel dan part-time yang sangat populer, terutama di kalangan perempuan dan keluarga muda. Sistem kesejahteraan sosial yang mendukung, ditambah budaya kerja berbasis kepercayaan dan tanggung jawab individual, menjadikan warga Belanda tetap produktif tanpa harus mengorbankan kehidupan pribadi mereka. Model kerja paruh waktu di Belanda bahkan dianggap sebagai standar emas dalam diskusi global tentang work-life balance.
Norwegia dan Austria menempati posisi berikutnya dengan rata-rata 27,1 jam dan 28,4 jam per minggu. Kedua negara ini sama-sama mengutamakan sistem kerja berkelanjutan, dengan penekanan pada jaminan sosial, cuti kerja yang memadai, dan proteksi ketenagakerjaan yang kuat. Di Norwegia, berbagai kebijakan mendorong perusahaan memberikan waktu kerja fleksibel dan dukungan untuk orang tua, sementara Austria menyeimbangkan produktivitas industri dengan kesejahteraan karyawan melalui sistem kerja yang adil dan transparan.
Denmark dan Finlandia juga masuk dalam daftar, dengan jam kerja mingguan rata-rata 28,8 jam. Kedua negara ini sangat menekankan keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga. Denmark menerapkan sistem kerja berbasis hasil, bukan jam, serta mendorong pembagian tanggung jawab domestik secara adil antara pria dan wanita. Finlandia, di sisi lain, terkenal karena sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang sangat setara, di mana pekerja memiliki keleluasaan untuk menentukan jam kerja dan mengatur ritme hidup mereka sendiri tanpa mengganggu produktivitas.
Yang menarik, negara-negara berkembang seperti Vanuatu dan Mozambik juga masuk ke dalam daftar dengan jam kerja mingguan rata-rata sekitar 29 jam. Di kedua negara ini, struktur ekonomi masih banyak bergantung pada sektor pertanian subsisten dan pariwisata lokal. Oleh karena itu, ritme kerja yang lebih santai dan tidak terlalu terikat waktu menjadi bagian dari budaya kerja sehari-hari. Keterlibatan sosial dan aktivitas komunitas juga turut membentuk pola kerja yang tidak terlalu kaku, namun tetap mendukung keberlangsungan ekonomi domestik.
Swedia menjadi negara terakhir dalam daftar ini dengan jam kerja rata-rata 29,3 jam per minggu. Negara ini tidak hanya menjadi simbol kemajuan sosial, tapi juga dikenal sebagai salah satu pelopor dalam menciptakan sistem kerja yang progresif. Mulai dari cuti orang tua yang panjang dan setara antara ibu dan ayah, waktu libur yang fleksibel, hingga kebijakan kantor yang ramah terhadap keluarga dan perempuan. Swedia bahkan kerap menjadi bahan studi internasional dalam penerapan prinsip “6-hour workday”, yang terus diuji coba di berbagai sektor.
Faktor utama keberhasilan negara-negara tersebut dalam menerapkan jam kerja pendek terletak pada kebijakan pemerintah yang mendukung keseimbangan hidup, sistem tunjangan sosial yang luas, serta pendekatan kerja berbasis fleksibilitas dan kepercayaan. Di Eropa, undang-undang ketenagakerjaan secara ketat membatasi durasi kerja dan mewajibkan perusahaan menyediakan cuti, waktu istirahat, dan kompensasi yang layak. Selain itu, pendidikan yang baik dan tingkat literasi tinggi juga membuat para pekerja mampu bekerja lebih efisien dalam waktu yang lebih singkat.
Di sisi lain, dalam konteks negara seperti Yaman, pendeknya jam kerja lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika ekonomi informal dan kondisi politik yang tidak stabil, yang membuat pekerjaan formal sulit diakses oleh sebagian besar penduduk. Namun, realita ini tidak mengurangi pentingnya nilai waktu bersama keluarga dan komunitas yang tetap menjadi inti dari kehidupan masyarakatnya.
Menariknya, dari tren global ini bisa disimpulkan bahwa jam kerja pendek bukanlah sebuah kemunduran dalam produktivitas. Sebaliknya, justru menjadi indikator bahwa sistem kerja modern bisa lebih berfokus pada hasil, bukan durasi. Banyak studi menunjukkan bahwa produktivitas sebenarnya tidak linier terhadap waktu kerja. Pekerja yang memiliki waktu istirahat cukup dan keseimbangan hidup cenderung lebih fokus, kreatif, dan sehat secara mental.
Tren ini menjadi sangat relevan di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, burnout, dan tantangan hidup modern pasca-pandemi. Negara-negara dengan jam kerja pendek membuktikan bahwa kemajuan ekonomi bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebahagiaan warga negara.
Dengan semakin banyaknya negara yang mengevaluasi sistem kerja tradisional dan mencari model yang lebih adaptif, daftar sembilan negara dengan jam kerja terpendek ini dapat menjadi acuan penting dalam merancang kebijakan ketenagakerjaan yang lebih manusiawi di masa depan. Bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun mendatang, jam kerja 30 jam per minggu atau bahkan 4 hari kerja per minggu akan menjadi norma baru yang diterima secara global.
