

Arti Bullshit – Kita pasti pernah dengar orang ngomong, “Ah, itu mah bullshit!” Entah di tongkrongan, media sosial, atau bahkan di tempat kerja. Tapi, pernah nggak sih kepikiran sebenarnya apa arti dari kata “bullshit” itu sendiri? Kenapa kata ini sering banget dipakai buat mengekspresikan ketidakpercayaan atau rasa kesel?
Secara harfiah, “bullshit” itu gabungan dari kata “bull” (banteng) dan “shit” (kotoran). Jadi, kalau diterjemahin mentah-mentah, artinya ya “tai banteng.” Tapi tentu aja, makna yang dimaksud bukan harfiah. Dalam percakapan sehari-hari, bullshit biasanya dipakai buat nyebut sesuatu yang dianggap omong kosong, bohong, atau terlalu dibuat-buat.
Menariknya, kata ini nggak cuma sekadar umpatan. Bullshit sering dipakai buat ngasih label ke sesuatu yang kelihatannya meyakinkan, tapi ternyata kosong isinya. Misalnya, janji-janji manis politikus, teori konspirasi yang nggak masuk akal, atau bahkan omongan motivator yang terlalu lebay.
Nah, di artikel ini, kita bakal kupas lebih dalam soal arti “bullshit,” gimana kata ini berkembang, dan kenapa penting juga buat kita belajar membedakan mana informasi yang bener, mana yang cuma… ya, bullshit. Yuk, kita bahas bareng-bareng dengan santai!
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari kata-kata. Kata-kata membentuk percakapan, menyampaikan maksud, dan membangun relasi antarmanusia. Namun, tidak semua kata digunakan secara jujur atau bermakna jelas. Salah satu kata yang sering muncul dalam percakapan informal—baik dalam bahasa Inggris maupun sudah diadopsi dalam bahasa sehari-hari di Indonesia—adalah kata bullshit. Meski terdengar kasar, kata ini menyimpan makna yang kompleks dan relevan dalam berbagai situasi sosial, politik, dan bahkan filosofis.
Secara harfiah, bullshit berarti “kotoran sapi”. Namun, seperti banyak istilah slang lainnya, makna sebenarnya tidak terletak pada arti literalnya, melainkan pada konotasi yang menyertainya. Dalam praktiknya, bullshit merujuk pada sesuatu yang tidak jujur, dibuat-buat, omong kosong, atau manipulatif. Kata ini digunakan untuk menyebut informasi atau pernyataan yang terdengar seperti kebenaran tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat, atau bahkan sepenuhnya palsu.
Contohnya:
Kata bullshit pertama kali tercatat dalam literatur Amerika Serikat sekitar awal abad ke-20. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris kasar dan biasanya dianggap tidak sopan. Namun, popularitasnya makin meningkat seiring perkembangan budaya pop dan media massa, terutama film, musik, dan stand-up comedy.
Dalam perkembangannya, bullshit tidak hanya menjadi kata umpatan atau ekspresi emosional, tetapi juga menjadi istilah kritis yang digunakan untuk menyebut suatu fenomena sosial—terutama ketika seseorang merasa bahwa informasi yang diterima tidak tulus, terlalu melebih-lebihkan, atau hanya sekadar bualan.
Banyak karyawan atau profesional yang menghadapi bentuk-bentuk bullshit di kantor. Ini bisa berupa jargon-jargon manajerial yang terdengar meyakinkan tetapi sebenarnya tidak menjelaskan apa pun. Misalnya, kalimat seperti:
“Kita harus mengoptimalkan sinergi lintas departemen untuk mendorong inovasi kolaboratif yang berdampak pada value creation.”
Kalimat seperti itu sering kali terdengar canggih, tetapi sebenarnya bisa jadi kosong makna jika tidak disertai tindakan nyata. Inilah yang oleh banyak orang disebut sebagai corporate bullshit.
Politik adalah lahan subur bagi bullshit. Janji-janji kosong, kampanye yang hanya fokus pada pencitraan, dan data-data manipulatif merupakan bentuk nyata dari bagaimana bullshit digunakan untuk memengaruhi opini publik. Seorang politikus tidak harus berdusta terang-terangan; cukup dengan mengungkapkan separuh kebenaran atau menggunakan kata-kata ambigu, dia bisa menciptakan ilusi kejujuran.
Filsuf Harry G. Frankfurt, dalam esainya yang terkenal On Bullshit (2005), menyatakan bahwa bullshit bahkan lebih berbahaya daripada kebohongan. Mengapa? Karena kebohongan masih peduli pada kebenaran—pembohong tahu apa yang benar dan sengaja menyembunyikannya. Tapi pembuat bullshit tidak peduli sama sekali apakah yang dia katakan benar atau tidak. Tujuannya hanya untuk memengaruhi, membentuk citra, atau mendapatkan keuntungan pribadi.
Era digital memperluas ruang lingkup bullshit. Di media sosial, siapa pun bisa menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Dari teori konspirasi, berita palsu (fake news), hingga postingan penuh kepalsuan demi mendapatkan likes dan followers. Banyak pengguna internet yang secara sadar maupun tidak, menjadi bagian dari produksi dan penyebaran bullshit.
Contohnya:
Penggunaan bullshit secara terus-menerus dan luas dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara individu maupun sosial.
Ketika seseorang terlalu sering berhadapan dengan bullshit, lama-lama ia menjadi skeptis, bahkan terhadap informasi yang sebenarnya valid. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan krisis kepercayaan terhadap institusi, media, atau bahkan relasi antarmanusia.
Bullshit mempersulit orang membedakan mana fakta, mana opini, dan mana manipulasi. Ini berbahaya terutama dalam pengambilan keputusan penting, seperti memilih pemimpin, menentukan kebijakan, atau menyusun strategi bisnis.
Jika bullshit dianggap biasa dan diterima sebagai bagian dari komunikasi sehari-hari, maka batas antara kejujuran dan kepalsuan bisa mengabur. Orang mulai merasa bahwa “asal meyakinkan, tidak masalah apakah benar atau tidak”.
Penting untuk membekali diri dengan kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi sumber informasi, dan memahami konteks. Jangan langsung percaya pada pernyataan yang terdengar bagus, apalagi jika tidak didukung data yang jelas.
Salah satu cara paling sederhana untuk membongkar bullshit adalah dengan bertanya: “Apa buktinya?” Jika seseorang membuat klaim besar tetapi tidak bisa menunjukkan bukti konkret, kemungkinan besar itu hanyalah omong kosong.
Kita pun perlu refleksi. Apakah kita pernah membuat pernyataan yang tidak kita yakini kebenarannya hanya untuk terlihat pintar, lucu, atau meyakinkan? Jika iya, mungkin saatnya kita lebih berhati-hati dalam berucap.
Kejujuran kadang terdengar pahit atau tidak populer, tapi tetap lebih baik daripada bullshit yang manis tapi menipu. Kita bisa mulai dengan membiasakan diri untuk bicara jujur, apa adanya, dan tidak melebih-lebihkan hal-hal yang tidak perlu.
Kata bullshit mungkin kasar, tapi ia menunjuk pada fenomena yang sangat nyata dalam kehidupan kita: praktik manipulasi lewat kata-kata yang meyakinkan tapi kosong. Entah dalam dunia kerja, politik, media sosial, atau kehidupan pribadi, kita semua pernah berhadapan dengan bullshit. Penting bagi kita untuk bisa mengenali, menghindari, dan menolaknya.
Dalam dunia yang semakin bising oleh informasi palsu dan kepura-puraan, kemampuan untuk mengenali bullshit bukan lagi sekadar keterampilan, melainkan kebutuhan. Karena di balik setiap kalimat manis yang tidak tulus, selalu ada risiko kita dijauhkan dari kebenaran.
Disclaimer:
Seluruh konten yang dipublikasikan di DomainJava ditujukan untuk tujuan informasi dan edukasi. Kami tidak menyarankan maupun mendukung akses ke tautan yang melanggar hukum atau kebijakan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada:
Catatan Penting:
DomainJava tidak bertanggung jawab atas tindakan pengguna setelah mengakses tautan eksternal yang disertakan dalam postingan. Kami menganjurkan pengguna untuk selalu berhati-hati dan bertindak secara bijak, serta memastikan bahwa setiap aktivitas online dilakukan secara legal dan bertanggung jawab.
Jika Anda menemukan tautan yang mencurigakan atau tidak sesuai, silakan hubungi kami melalui halaman kontak untuk peninjauan lebih lanjut.