Abu Nawas: Penyair Bijaksana dan Humoristis dalam Sastra Arab Klasik – Abu Nawas, yang nama aslinya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami, lahir pada tahun 145 H (747 M) di kota Ahvaz, Persia (sekarang Iran). Latar belakang keluarganya merupakan campuran, dengan ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II, dan ibunya, Jalban, adalah seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Setelah kehilangan orang tua di usia muda, ibunya membawanya ke Bashrah, Irak, di mana Abu Nawas memulai pendidikan dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Di Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat Islam. Ia terkenal karena kemampuannya yang unik dalam menyampaikan kritik melalui humor dan kecerdikan. Seperti Nasrudin Hoja, Abu Nawas adalah seorang tokoh sufi, filsuf, dan penyair yang hidup pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Abu Nawas dikenal tidak hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena sifat eksentriknya. Pada awal kariernya sebagai penyair, ia terkenal karena kebiasaan mabuknya. Namun, dalam pencarian spiritualnya untuk memahami makna hidup dan hakikat Allah, ia mengalami transformasi mendalam. Setelah mencapai tingkat spiritual yang tinggi, puisinya beralih dari tema khamar menjadi nilai-nilai ketuhanan, menjadikannya sebagai penyair sufi yang sangat dihormati.
Abu Nawas mempelajari sastra Arab di bawah bimbingan Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah, serta Al-Qur’an dari Ya’qub Al-Hadrami. Dalam ilmu hadis, ia belajar dari Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad As-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, sangat mempengaruhi gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat menghargai bakat Abu Nawas dan membawanya ke Ahwaz dan Kufah untuk melanjutkan pengembangan bakatnya.
Di Kufah, Abu Nawas diminta oleh Ahmar untuk tinggal bersama masyarakat Badui guna memperdalam dan memperhalus bahasa Arabnya. Ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat peradaban Dinasti Abbasiyah, di mana ia berkumpul dengan para penyair dan mendapatkan pengakuan dari kalangan bangsawan. Namun, kedekatannya dengan penguasa juga mempengaruhi tema puisi-puisinya, yang sering kali mencerminkan pujian kepada penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair yang multivisi, penuh canda, dan tajam lidahnya. Meski karya-karya ilmiahnya jarang dikenal di kalangan intelektual, ia lebih terkenal sebagai tokoh yang sering bertingkah lucu. Kepiawaiannya dalam menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid, yang memanggilnya untuk menjadi penyair istana (Sya’irul Bilad).
Kehidupan Abu Nawas penuh warna dan keceriaan. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi menciptakan legenda tersendiri dalam sejarah. Namun, kedekatannya dengan kekuasaan juga membawa risiko; suatu kali ia dipenjarakan karena puisi yang dianggap menyinggung Khalifah. Setelah bebas, Abu Nawas berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Setelah keluarga Barmak jatuh, ia pindah ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami, sebelum akhirnya kembali ke Baghdad setelah kematian Harun Al-Rasyid dan penggantian oleh Al-Amin.
Setelah masa penjara, puisi-puisi Abu Nawas menunjukkan perubahan menuju tema religius. Ia yang sebelumnya dikenal karena gaya hidup glamor kini lebih fokus pada spiritualitas dan penyerahan diri kepada kekuasaan Allah. Beberapa puisinya mencerminkan rasa penyesalan yang mendalam atas masa lalunya.
Tahun kematian Abu Nawas memiliki berbagai versi. Beberapa sumber menyebutkan tahun 190 H (806 M), 195 H (810 M), 196 H (811 M), 198 H (813 M), atau 199 H (814 M). Ada cerita yang menyebutkan bahwa ia meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti yang menaruh dendam kepadanya. Abu Nawas dimakamkan di Syunizi, di jantung Kota Baghdad.
Abu Nawas meninggalkan warisan sastra yang kaya dalam khazanah Arab klasik, dengan perjalanan hidup yang mencerminkan perubahan dari kehidupan duniawi yang glamor ke pencarian spiritual yang mendalam. Kumpulan hikayat, cerita humor, dan puisi-puisinya menggambarkan perjalanan spiritual dan kreativitasnya yang mengesankan, serta kemampuannya untuk mengolah kritik menjadi karya yang penuh canda dan makna.
Dongeng Abu Nawas: Pukulan Jadi Dinar
Kumpulan kisah Abu Nawas selalu penuh dengan humor dan kebijaksanaan. Kali ini, kita akan membahas sebuah cerita lucu berjudul “Abu Nawas Pukulan Jadi Dinar.” Selain mengundang tawa, kisah ini juga mengandung pelajaran berharga tentang kecerdikan dan keadilan.
Cerita Abu Nawas Pukulan Jadi Dinar
Suatu hari, Sultan Harun Ar-Rasyid merasa sedikit kesal dengan tingkah laku Abu Nawas yang sering membuatnya malu di depan para pejabat istana. Untuk membalas perbuatannya, Sultan memutuskan untuk menguji kecerdikan Abu Nawas dengan sebuah jebakan. Sultan memanggil Abu Nawas dan berkata, “Wahai Abu Nawas, besok bawalah ibumu ke istanaku. Jika kamu berhasil, aku akan memberimu hadiah seratus dinar.”
Abu Nawas terkejut mendengar perintah tersebut. Dia tahu bahwa ibunya sudah meninggal dunia. Namun, dengan kecerdikannya, dia memutuskan untuk menerima tantangan tersebut. “Baiklah, Tuanku. Besok pagi saya akan membawa ibu saya menghadap ke istana,” jawab Abu Nawas mantap sebelum pamit.
Mencari Ibu Angkat
Setibanya di rumah, Abu Nawas langsung pergi mencari seorang perempuan tua yang bisa dijadikan sebagai ibu angkat. Dia berkeliling ke berbagai sudut kota, bertanya pada banyak orang hingga akhirnya menemukan seorang perempuan tua yang menjual kue di pinggir jalan. Abu Nawas mendekati perempuan tersebut dan berkata, “Hai, Ibu, maukah engkau menjadi ibu angkatku?”
Perempuan tua itu heran dan bertanya, “Mengapa engkau meminta itu?” Abu Nawas pun menjelaskan situasinya dan menawarkan hadiah seratus dinar dari Sultan jika dia berhasil membawa perempuan itu ke istana sebagai ibu angkatnya. “Uang itu bisa Ibu simpan untuk bekal di masa depan,” tambah Abu Nawas.
Perempuan tua itu setuju dan Abu Nawas memberinya sebuah tasbih. Ia berpesan agar perempuan tua itu terus menghitung biji tasbih meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan apapun. Abu Nawas juga mengingatkan agar rencana ini tidak gagal. Ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana.
Menghadap Sultan
Keesokan paginya, Abu Nawas tiba di istana dengan menggendong perempuan tua tersebut. Sultan sangat terkejut melihat Abu Nawas membawa seorang perempuan tua dan bertanya, “Siapa perempuan yang engkau bawa ini? Apakah dia ibumu? Kenapa baru sekarang engkau tiba?”
“Benar, Tuanku,” jawab Abu Nawas. “Ini ibu saya. Karena beliau sudah tua dan lemah, saya terpaksa menggendongnya dari rumah yang jauh untuk sampai ke istana.”
Sementara itu, perempuan tua itu mulai menghitung biji tasbih tanpa henti, meskipun Sultan bertanya beberapa kali. Sultan semakin marah dan merasa dipermalukan, “Ibumu sangat tidak sopan. Mengapa dia tidak menjawab pertanyaan?”
Abu Nawas menjelaskan, “Sultan, ibu saya memiliki seratus suami. Beliau menghafal nama mereka satu persatu dan tidak akan berhenti menghitung sebelum semuanya selesai.”
Hadiah Pukulan
Sultan merasa semakin tersinggung dan memutuskan untuk menghukum Abu Nawas dengan seratus pukulan. Namun, sebelum hukuman dilaksanakan, Abu Nawas meminta izin untuk berbicara dengan Sultan.
“Ya Tuanku, hukuman apa yang akan Engkau berikan?” tanya Abu Nawas.
“Karena engkau berjanji untuk membawa ibumu ke sini dan tidak dapat memenuhi janji itu, aku akan memberimu seratus pukulan,” jawab Sultan.
“Ya Tuanku,” kata Abu Nawas, “Karena aku berjanji dengan perempuan tua ini untuk membagi hadiah seratus dinar, maka hukuman juga harus dibagi dua. Jika aku menerima seratus pukulan, maka harus dibagi dua, yaitu lima puluh pukulan untukku dan lima puluh untuk perempuan tua ini.”
Sultan dalam hati merasa, “Perempuan tua ini tidak akan mampu menahan satu pukulan pun.” Sultan pun memberikan lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak mudah percaya pada Abu Nawas di masa depan. Perempuan tua itu menerima hadiah tersebut dengan senang hati.
“Ya Tuanku, jika ibu saya mendapat bagian dari hadiah, tidak adil rasanya jika anaknya tidak mendapat bagian,” kata Abu Nawas.
Sultan yang merasa terhibur dan tersenyum akhirnya memberikan tambahan lima puluh dinar kepada Abu Nawas. Semua yang hadir di istana tertawa terhibur oleh kecerdikan Abu Nawas.
Pesan dari Kisah Abu Nawas
Kisah ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajarkan kita tentang kecerdikan dan keadilan. Abu Nawas menunjukkan bahwa dengan kepandaian dan kebijaksanaan, kita dapat menghadapi situasi sulit dengan cara yang cerdas dan penuh humor. Semoga kisah lucu ini memberikan inspirasi dan hiburan dalam kehidupan sehari-hari Anda.
Demikian pembahasan Admin DomainJava mengenai