Al-Qur’an adalah kitab suci yang penuh dengan petunjuk dan hikmah. Tapi kalau diperhatikan, nggak semua ayat bisa langsung dipahami dengan mudah. Ada ayat yang isinya jelas dan tegas, tapi ada juga yang maknanya lebih dalam, bahkan membingungkan bagi sebagian orang. Dalam istilah Islam, ayat-ayat seperti ini dikenal dengan sebutan muhkamat dan mutasyabihat.
Muhkamat adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak mengandung banyak penafsiran. Biasanya ayat-ayat ini menyangkut hukum, perintah, larangan, atau pokok-pokok keimanan. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya tidak langsung, bisa ditafsirkan secara beragam, atau hanya Allah yang mengetahui maksud sebenarnya. Contohnya seperti ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah atau hari kiamat.
Hal yang sama juga bisa ditemukan dalam hadits. Ada hadits yang mudah dipahami, tapi ada juga yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dari para ulama. Karena itulah, memahami perbedaan antara muhkamat dan mutasyabihat menjadi penting, supaya kita nggak keliru dalam menafsirkan dan menyikapi ayat atau hadits yang kita baca.
Di artikel ini, kita akan bahas apa itu muhkamat dan mutasyabihat, contoh-contohnya dalam Al-Qur’an dan hadits, serta bagaimana sikap yang bijak dalam menghadapinya. Jangan sampai kita malah terjebak dalam penafsiran yang keliru hanya karena tergesa-gesa atau mengikuti hawa nafsu. Yuk, kita pahami bersama dengan hati yang tenang dan pikiran terbuka!
Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur’an dan Hadits: Pemahaman dan Sikap yang Bijak
Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai pedoman umat manusia. Di dalamnya terkandung berbagai jenis ayat, baik dari sisi kandungan hukum maupun dari segi kejelasan makna. Dua istilah penting yang sering disebut dalam ilmu tafsir adalah ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Keduanya memiliki karakteristik dan fungsi tersendiri dalam Al-Qur’an, bahkan dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ pun terdapat kandungan serupa.
Memahami perbedaan antara ayat muhkamat dan mutasyabihat menjadi penting untuk menjaga akidah, mencegah kesesatan dalam penafsiran, dan memperkuat sikap ilmiah dalam memahami wahyu. Allah SWT telah menjelaskan hal ini secara eksplisit dalam Al-Qur’an:
Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 7
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ…
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur’an, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat…” (Ali Imran: 7)
Ayat ini menjadi dasar utama pembagian kandungan Al-Qur’an. Ia juga memberikan peringatan bahwa orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan akan lebih tertarik pada ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari takwil yang sesuai hawa nafsu. Sedangkan orang yang benar-benar berilmu akan mengembalikan semuanya kepada Allah dan menyatakan keimanan terhadap keseluruhan wahyu.
Apa Itu Ayat Muhkamat?
1. Definisi dan Ciri Utama
Ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya jelas, tegas, dan tidak memiliki banyak kemungkinan penafsiran. Dari sisi bahasa Arab, susunannya menunjukkan satu makna yang pasti dan tidak bisa dipalingkan ke makna lain tanpa menyimpang. Inilah yang disebut sebagai ayat yang menjadi “Ummul Kitab”, yaitu induk atau inti dari isi Al-Qur’an.
Ayat-ayat ini biasanya berkaitan dengan hukum-hukum syariat, akidah yang fundamental, serta prinsip-prinsip kehidupan yang tidak perlu lagi ditakwil secara mendalam. Pemahamannya langsung dan tidak ambigu.
2. Contoh Ayat Muhkamat
Beberapa ayat yang tergolong muhkamat antara lain:
QS. Asy-Syura: 11
“لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ”
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya.”QS. An-Nahl: 60
“وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى”
“Dan Allah memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya.”QS. Al-Ikhlash: 4
“وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ”
“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”QS. An-Nahl: 74
“فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ”
“Maka janganlah kamu mengadakan serupa-serupa bagi Allah.”QS. Maryam: 65
“هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا”
“Allah tidak ada serupa bagi-Nya.”
Semua ayat ini menunjukkan dengan tegas bahwa Allah SWT tidak menyerupai makhluk-Nya dalam bentuk apa pun. Maknanya tegas, dan tidak butuh takwil yang rumit.
Apa Itu Ayat Mutasyabihat?
1. Definisi dan Karakteristik
Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya tidak jelas atau memiliki banyak kemungkinan penafsiran, baik karena menggunakan bahasa metaforis, simbolik, atau berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak bisa dijangkau sepenuhnya oleh akal manusia.
Dalam konteks bahasa Arab, kata-kata dalam ayat mutasyabihat sering memiliki lebih dari satu makna. Hal ini menuntut kehati-hatian dalam penafsiran, karena salah memahami ayat mutasyabihat bisa mengarah pada penyimpangan akidah dan penyesatan.
2. Contoh Ayat Mutasyabihat
QS. Thaha: 5
“الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى”
“Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”
Kata “استوى” (istawa) memiliki banyak arti dalam bahasa Arab—di antaranya: menetap, menguasai, naik, atau duduk—bahkan sebagian ulama bahasa menyebutkan lebih dari 15 makna. Tanpa pemahaman dan kehati-hatian, bisa saja ayat ini dipahami secara lahiriah, yang tentu bertentangan dengan ayat muhkamat yang menyatakan bahwa Allah tidak serupa dengan apa pun.
Dua Pendekatan Ulama dalam Menyikapi Ayat Mutasyabihat
1. Metode Tafwidh (Penyerahan Makna kepada Allah)
Ini adalah pendekatan mayoritas ulama salaf, yaitu ulama dari tiga abad pertama Hijriah. Mereka memilih untuk mengimani ayat-ayat mutasyabihat apa adanya, tanpa menafsirkan secara detail. Mereka yakin bahwa maknanya pasti benar, tetapi tidak menetapkan tafsir tertentu, karena hanya Allah yang mengetahui makna sesungguhnya.
Pendekatan ini sangat hati-hati dan menghindari spekulasi. Mereka menegaskan bahwa:
“Kita imani tanpa mempertanyakan bagaimana-nya, dan kita tidak menakwilkan secara rinci.”
2. Metode Ta’wil (Penafsiran Terperinci)
Pendekatan ini diambil oleh mayoritas ulama khalaf (ulama setelah abad ke-3 H), seperti Imam Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, dan lainnya. Mereka mencoba mentakwil ayat mutasyabihat secara rinci dengan tetap memperhatikan kaidah bahasa Arab dan makna yang layak bagi Allah SWT, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Contohnya, kata “istawa” ditakwilkan sebagai menguasai atau menetapkan kekuasaan-Nya atas Arsy, bukan dalam arti duduk atau bertempat, karena itu akan menyamakan Allah dengan makhluk.
Metode ta’wil ini banyak digunakan dalam konteks menjaga akidah umat awam dari paham tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), yang bisa menyimpang dari tauhid murni.
Keseimbangan antara Muhkamat dan Mutasyabihat
Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengembalikan ayat mutasyabihat kepada ayat muhkamat. Artinya, segala pemahaman terhadap wahyu yang masih samar harus ditimbang dengan ayat-ayat yang jelas dan tegas. Ini adalah prinsip dasar dalam tafsir yang disebut sebagai:
“Menafsirkan yang samar dengan yang jelas.”
Keseimbangan antara keduanya adalah kunci agar umat Islam tidak terjerumus pada ekstremisme dalam memahami agama—baik dengan menolak ayat mutasyabihat, maupun dengan menafsirkannya secara literal tanpa ilmu.
Hadits-Hadits pun Mengandung Muhkamat dan Mutasyabihat
Seperti halnya Al-Qur’an, hadits Nabi ﷺ juga terdiri atas yang muhkamat dan mutasyabihat. Beberapa hadits menyebutkan hal-hal ghaib, sifat Allah, atau kejadian akhirat dengan bahasa yang bisa bermakna ganda. Karenanya, hadits-hadits seperti ini juga harus disikapi dengan pendekatan ilmiah yang sama—baik dengan tafwidh atau ta’wil—dan tidak dipahami secara zahir tanpa ilmu.
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna, mencakup ayat-ayat muhkamat yang tegas dan ayat-ayat mutasyabihat yang memerlukan perenungan dan penafsiran. Pemahaman yang benar terhadap keduanya adalah fondasi penting dalam menjaga kemurnian akidah dan ketepatan amal.
Terdapat dua metode ilmiah dalam menyikapi ayat mutasyabihat:
Tafwidh, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah sambil tetap beriman.
Ta’wil, yaitu menafsirkannya secara terperinci dengan tetap menjaga kemurnian tauhid.
Kedua pendekatan ini diakui oleh para ulama dan masing-masing memiliki kedalaman dan hikmah tersendiri. Yang terpenting, setiap Muslim hendaknya menjaga sikap hati-hati dalam memahami wahyu, dan selalu merujuk kepada para ulama yang ahli dalam tafsir dan aqidah, agar tidak terjatuh dalam kekeliruan.
