Dalam ajaran Islam, kita tentu sudah sangat familiar dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama. Tapi, nggak banyak yang benar-benar memahami bahwa hadits juga punya kedudukan penting dalam menetapkan hukum. Bahkan, hadits disebut sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Tanpa hadits, banyak ajaran dalam Al-Qur’an yang sulit dipraktikkan secara utuh.
Kenapa bisa begitu? Karena Al-Qur’an memang sering kali menyampaikan perintah atau larangan secara umum. Nah, di sinilah hadits berperan untuk menjelaskan, memperinci, bahkan kadang menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Hadits berasal dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang menjadi contoh nyata penerapan ajaran Islam.
Kedudukan hadits sebagai sumber hukum kedua ini sudah disepakati oleh para ulama sejak zaman dahulu. Bahkan, tidak sedikit hukum-hukum fiqih yang justru lebih rinci dijelaskan dalam hadits dibandingkan Al-Qur’an. Misalnya soal tata cara shalat, zakat, atau puasa—semuanya banyak dijelaskan secara rinci dalam hadits.
Nah, di artikel ini, kita akan bahas lebih dalam tentang mengapa hadits menempati posisi penting dalam hukum Islam, bagaimana hubungan antara hadits dan Al-Qur’an, serta contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, yuk simak terus biar makin paham dan bisa mempraktikkan ajaran Islam dengan landasan yang kuat!
Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
Dalam struktur hukum Islam, Al-Qur’an adalah sumber utama segala ajaran dan hukum. Namun, Al-Qur’an tidak menjelaskan semua aspek hukum secara rinci. Di sinilah hadits memainkan peran yang sangat penting sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah Al-Qur’an. Hadits tidak hanya memperkuat, tetapi juga menjelaskan, melengkapi, bahkan dalam beberapa kasus menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Peran hadits dalam hukum Islam sangat vital, karena ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna terhadap ajaran-ajaran yang disebutkan secara global (ijmal) dalam Al-Qur’an. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kebutuhan Al-Qur’an terhadap hadits lebih besar dibandingkan kebutuhan hadits terhadap Al-Qur’an. Sebab, hampir tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang tidak dijelaskan secara rinci oleh hadits-hadits Nabi SAW.
Namun, meskipun demikian pentingnya peran hadits, seorang Muslim tidak dibenarkan mengambil salah satu sumber (Al-Qur’an atau hadits) dan meninggalkan yang lainnya. Kedua sumber ini ibarat dua sisi mata uang—tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, menguatkan, dan membentuk fondasi kokoh hukum Islam.
Langkah Ulama dalam Menetapkan Hukum Islam
Dalam proses istinbath al-ahkam (penggalian hukum Islam), para ulama tidak serta-merta langsung merujuk kepada hadits. Mereka pertama-tama meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, mencari dasar dan petunjuk terhadap suatu permasalahan. Jika ditemukan ayat yang relevan, maka ditetapkanlah sebagai dasar hukum.
Namun, karena sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum atau global, langkah berikutnya adalah mencari penjelasan dan rincian dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Di sinilah letak sinergi yang indah antara Al-Qur’an dan hadits. Hadits memberikan keterangan teknis dan kontekstual yang membantu memahami serta mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar.
Dari sinergi inilah para ulama dapat menghasilkan keputusan hukum yang sesuai dengan persoalan yang dihadapi umat. Tentu saja, ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Diperlukan ilmu pengetahuan, metodologi, serta alat-alat ilmiah yang mumpuni dalam ilmu Al-Qur’an dan hadits, agar hasil ijtihad tidak menyimpang dari prinsip syariat.
Tiga Fungsi Pokok Hadits terhadap Al-Qur’an menurut Abdul Wahab Khallaf
Abdul Wahab Khallaf, seorang ahli hukum Islam asal Mesir, menjelaskan bahwa hadits memiliki tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan Al-Qur’an. Ketiga fungsi ini mencerminkan peran penting hadits dalam menjaga, merinci, dan melengkapi syariat Islam.
1. Hadits sebagai Penegas dan Penguat Hukum Al-Qur’an
Fungsi pertama hadits adalah sebagai penegas (taqrir) dan penguat (ta’kid) terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalam banyak kasus, hadits memperkuat kewajiban yang telah disebutkan dalam ayat, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan:
إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن
Artinya: “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam Al-Qur’an.”
Contohnya, perintah shalat disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 43, namun hadits menegaskan kewajiban ini sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya shalat dalam kehidupan seorang Muslim.
2. Hadits sebagai Penjelas dan Penafsir Ayat Global
Fungsi kedua adalah sebagai penjelas (tafsil) dan penafsir (ta’wil) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Banyak ayat Al-Qur’an yang hanya menyebutkan hukum secara global, tanpa rincian teknis. Hadits Nabi kemudian menjelaskan rincian tersebut secara lengkap.
Khallaf menyatakan:
إما أن تكون سنة مفصلِّة ومفسِّرة لما جاء في القرآن
Artinya: “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum global yang disebutkan dalam Al-Qur’an.”
Contohnya, ayat perintah puasa (QS. Al-Baqarah: 183) tidak menjelaskan tata cara, batasan, waktu berbuka, dan hal-hal yang membatalkan puasa. Semua itu dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi SAW yang meriwayatkan praktik langsung beliau dalam berpuasa.
3. Hadits sebagai Penetap Hukum Baru
Fungsi ketiga adalah bahwa hadits juga bisa berfungsi sebagai pencipta dan penetap hukum baru (tasyri’) yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Ini mencerminkan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syariat dan otoritas legislatif yang diberikan oleh Allah.
Khallaf menulis:
وإما أن تكون سنة مثبِتَة ومنشِئَة حُكما سكت عنه القرآن
Artinya: “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru yang belum disebutkan oleh Al-Qur’an.”
Contohnya, Al-Qur’an tidak menyebut secara eksplisit larangan menggabungkan seorang perempuan dengan bibinya dalam pernikahan. Namun hadits Nabi SAW menyatakan hal ini sebagai larangan. Begitu pula hukum larangan memakan hewan buas yang bertaring atau burung yang bercakar tajam, semuanya berasal dari sabda Nabi SAW.
Pentingnya Ilmu Hadits dalam Menentukan Hukum
Karena kedudukan hadits yang sangat vital dalam sistem hukum Islam, maka seseorang yang ingin mendalami hukum syariat harus menguasai ilmu-ilmu dasar hadits, seperti:
Ilmu musthalah hadits (istilah-istilah teknis dalam hadits)
Ilmu rijalul hadits (biografi para perawi)
Ilmu takhrij (penelusuran sanad dan sumber hadits)
Ilmu fiqh hadits (pemahaman kandungan hadits)
Tanpa penguasaan ilmu-ilmu tersebut, seseorang bisa dengan mudah salah paham dalam memahami redaksi hadits. Kesalahan ini tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyesatkan orang lain jika ia menyebarkan pemahaman keliru tersebut.
Hadits tidak bisa dibaca dan dipahami secara tekstual semata. Banyak hadits yang konteksnya perlu diteliti dengan cermat, apakah bersifat umum (aam) atau khusus (khash), apakah bersifat mutlak atau terikat, dan sebagainya. Karena itu, konsistensi dalam metode istinbath dan sikap kehati-hatian sangat diperlukan dalam memutuskan hukum berdasarkan hadits.
Kesimpulan
Hadits memiliki posisi yang sangat penting dalam hukum Islam, yakni sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Fungsinya tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi juga penjelas, penguat, bahkan penetap hukum dalam perkara-perkara tertentu.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, hadits memiliki tiga peran utama:
Menguatkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Menjelaskan ayat-ayat yang bersifat global
Menetapkan hukum baru yang tidak disebut dalam Al-Qur’an
Oleh karena itu, tidak mungkin kita memahami dan menerapkan syariat Islam secara utuh tanpa memadukan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Seorang Muslim sejati adalah mereka yang menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman utama dalam seluruh aspek kehidupan, baik ibadah, muamalah, akhlak, maupun sosial kemasyarakatan.
