Menurut saya, mempertimbangkan kondisi peserta didik dalam menerapkan pembelajaran sosial emosional sangatlah penting karena setiap anak memiliki latar belakang, karakter, serta kebutuhan emosional yang berbeda. Dalam pengalaman saya mengajar, saya menyadari bahwa tidak semua siswa siap untuk langsung terbuka atau terlibat dalam kegiatan yang menuntut refleksi diri dan kerja sama.
Ada siswa yang aktif dan percaya diri, tetapi ada juga yang masih ragu, pendiam, atau bahkan membawa beban emosional dari rumah. Jika saya tidak memahami kondisi mereka terlebih dahulu, kegiatan pembelajaran sosial emosional bisa terasa memaksa dan justru menimbulkan ketidaknyamanan.
Dengan mengenali kondisi peserta didik — baik dari sisi emosi, sosial, maupun kesiapan belajar — saya dapat menyesuaikan pendekatan. Misalnya, ketika saya tahu ada siswa yang sedang mengalami masalah pribadi, saya lebih berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan reflektif atau memberikan tugas yang menyentuh perasaan. Saya juga berusaha menciptakan suasana kelas yang aman, penuh penerimaan, dan saling menghargai agar mereka merasa nyaman untuk mengekspresikan diri.
Menurut saya, pembelajaran sosial emosional akan berhasil jika guru mampu membaca kebutuhan hati siswa. Ketika siswa merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi lebih terbuka, lebih mampu mengelola emosinya, dan lebih mudah berempati terhadap orang lain. Dengan demikian, mempertimbangkan kondisi peserta didik bukan hanya membantu keberhasilan pembelajaran, tetapi juga membangun hubungan yang hangat dan bermakna antara guru dan siswa.